Secara sosiologis, bekerjasama (cooperation)
merupakan salah satu bentuk proses interaksi sosial yang paling utama.
Bagi para ahli sosiologi, memaknai bekerjasama tidak hanya bersifat
positif tetapi juga dapat diartikan secara negatif. Contohnya, apabila
ada dua orang berkelahi, dan agar perkelahian itu terjadi maka kedua
lawan harus ”bekerjasama” untuk saling tinju dan mencakar. Makna di atas
tentu saja mengambil ruang lingkup yang sangat luas dan menimbulkan
batas pengertian yang kabur. Untuk menghindari salah pengertian, dalam
tulisan ini yang dimaksud dengan bekerjasama adalah kerjasama antar
orang perorangan dan antar kelompok manusia untuk mencapai satu atau
beberapa tujuan bersama dalam organisasi.
Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok orang dan
usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama sudah diajarkan di
dalam kehidupan keluarga dan kerabat. Setelah dewasa, ia akan
mengembangkan kerjasama dengan orang lain untuk kelangsungan hidupnya.
Ketika itu, bekerjasama tidak cukup didasarkan pada asas kekeluargaan
dan atau kepercayaan semata, tetapi semakin kompleks karena menuntut
sejumlah persyaratan keahlian tertentu dari masing-masing anggota
kerjasama. Jika tidak memiliki keahlian tertentu maka ia tidak dapat
menjalin kerjasama dengan sesamanya. Selain keahlian, juga mensyaratkan
suasana pergaulan yang menyenangkan, sistem pembagian kerja dan balas
jasa yang diterimanya secara adil dan disepakati.
Kerjasama yang terjalin dalam kelompok tradisional, akan
bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam dan
menyinggung kesetiaan kelompok. Mereka akan bersikap agresif jika dalam
jangka waktu lama mengalami kekecewaan yang ditimbulkan oleh adanya
rintangan yang bersumber dari luar kelompoknya. Bahkan akan semakin
tajam jika kelompok tersebut merasa tersinggung atau dirugikan oleh
kelompok lainnya. Dalam batas tertentu, perlawanan yang bersifat
kelompok ada baiknya yaitu untuk menciptakan keseimbangan dalam
kehidupan bermasyarakat. Namun, seringkali keadaannya bersifat
kontra-produktif, di mana anggota kelompok kurang berinisiatif dan
kurang daya kreasinya oleh karena orang perorangan terlalu mengandalkan
pada bantuan dari rekan sekelompoknya.
Dari sudut sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelompok
masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986; 60 – 63) yaitu: (a) bargaining yaitu
kerjasama antar orang perorang dan atau antar kelompok untuk mencapai
tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa,
kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu
kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru dari pihak lain
dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya
keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalitionyaitu
kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang
sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu
dalam kerjasama sehingga jatidiri dari masing-masing organisasi yang
berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas lebih cenderung
politis daripada sebuah makna yang membangun tim kerja dalam organisasi.
Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration.
Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan
staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola
organisasi. Dalam manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai
bawahan tetapi dianggap mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart,
1998; 88). Implikasinya, jika semua staf dipandang mitra maka mereka
dapat mengambil inisiatif untuk melakukan rapat kerja dan memimpinnya.
Walaupun demikian, tentu saja masih diperlukan koordinasi.
Kerjasama (collaboration)
dalam pandangan Stewart merupakan bagian dari kecakapan ”manajemen
baru” yang belum nampak pada manajemen tradisional. Dalam manajemen
tradisional terdapat tujuh kecakapan manajerial yaitu merencanakan (planning), mengkomunikasikan (communicating), mengkoordinasikan (co-ordinating), memotivasi (motivating), mengendalikan (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).
Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa kecakapan-kecakapan di atas
seperti merencanakan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan
memotivasi perlu dikuasai oleh seorang manajer. Namun demikian, untuk
kecakapan yang ketiga terakhir yaitu mengendalikan, mengarahkan, dan
memimpin dianggap ”sudah tidak efektif lagi”. Menurut Stewart perlu
seperangkat kecakapan baru yang perlu dikuasai oleh manajer era baru
yaitu harus mampu membuat mampu (enabling), memperlancar (facilitating), berkonsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting).
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki
kedudukan yang sentral karena esensi dari kehidupan sosial dan
berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa
ada interaksi sosial kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi,
kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Manajer
akan ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan
kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).
Fungsi bekerjasama dalam sebuah organisasi merupakan perekat antar
anggota organisasi dan untuk menyatukan arah kepada tujuan organisasi.
Berikut ini adalah peranan kerjasama dalam organisasi:
- Kerjasama pada saat pembagian kerja (division of work). Pembagian kerja atau penempatan karyawan, secara normatif harus menggunakan prinsip the right man in the right place dan rasional/objektif. Pada prosesnya perlu menjalin kerjasama untuk saling berbagi tugas dalam menjalankan organisasi.
- Kerjasama dalam merumuskan wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility). Dalam tugas pekerjaannya, setiap staf dilengkapi oleh wewenang dalam melakukan pekerjaan tertentu dan setiap wewenang itu melekat suatu pertanggungjawaban. Agar staf dapat menjalankan kewenangan dan memenuhi tanggungjawabnya, perlu diberi peluang untuk saling bekerjasama antar sesama staf dan antara dirinya dengan manajer terkait.
- Kerjasama dalam pembinaan kesatuan perintah (unity of command) dan pengarahan (unity of direction). Dalam melakasanakan pekerjaan, karyawan yang benar akan memperhatikan prinsip kesatuan perintah pada bidangnya sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Karyawan juga harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab. Perintah yang datang dari manajer bagian yang lain kepada seorang karyawan akan merusak jalannya wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja. Untuk memastikan adanya kesatuan perintah, perlu dijalin komunikasi dan kerjasama. Dalam pelaksanaan kerja, bisa saja terjadi adanya dua perintah yang bertentangan. Untuk keserasian perintah, sekali lagi diperlukan komunikasi, konsensus, dan kerjasama.
- Kerjasama dibina untuk menjaga ketertiban (order) organisasi. Ketertiban dalam organisasi dapat terlaksana dengan aturan yang ketat atau dapat pula karena telah terciptanya budaya kerja yang sangat kuat. Ketertiban dalam suatu pekerjaan dapat terwujud apabila seluruh karyawan, baik atasan maupun bawahan mempunyai disiplin yang tinggi dari masing-masing anggota organisasi. Jika ada salah seorang anggota organisasi tidak disiplin, seringkali kita memintanya untuk meningkatkan kerjasamanya agar budaya organisasi dapat tertib kembali.
Kerjasama dibina untuk menjaga semangat kesatuan (semangat korp).
Setiap staf harus memiliki rasa kesatuan, yaitu rasa senasib
sepenanggungan sehingga menimbulkan semangat kerjasama yang baik.
Semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai kesadaran
bahwa setiap karyawan sangat berarti bagi karyawan lain. Setiap bagian
dibutuhkan oleh bagian lainnya. Manajer yang memiliki kepemimpinan akan
mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksakan kehendak dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp(perpecahan dalam korp).
Setelah kita memahami tentang kedudukan dan fungsi bekerjasama
dalam sebuah organisasi, kita dapat menarik pemahaman bahwa kerjasama
memiliki kedudukan yang sangat penting. Setiap organisasi, sekecil
apapun, akan mengandalkan aspek kerjasama untuk mencapai tujuan
organisasi tersebut. Bahkan secara tegas disebutkan bahwa tidak ada
organisasi tanpa ada kerjasama. Chester I. Barnard dalam bukunya The Executive Functionsmengemukakan
bahwa organisasi adalah sistem kerjasama antara dua orang atau lebih
(Djatmiko, 2002; 1). James D. Mooney juga berpendapat bahwa organisasi
adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama.
0 komentar:
Posting Komentar